Alam Semesta Bukanlah Simulasi Komputer, Saran Penelitian Baru

15

Selama bertahun-tahun, gagasan bahwa realitas kita mungkin berupa simulasi komputer yang kompleks telah memikat para ilmuwan dan masyarakat. Kini, sebuah studi baru menawarkan bukti matematis yang meyakinkan untuk menentang gagasan ini, dengan menyatakan bahwa alam semesta beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip yang berada di luar jangkauan algoritma apa pun. Sebuah tim fisikawan dari Kanada, Amerika Serikat, Inggris, dan Italia telah mengembangkan kerangka kerja yang menantang “hipotesis simulasi”, yang menunjukkan adanya kebenaran mendasar yang tidak dapat ditangkap hanya melalui komputasi.

Hipotesis Simulasi dan Realitas Rekursif

Hipotesis simulasi mengusulkan bahwa alam semesta kita bisa menjadi simulasi canggih yang dijalankan oleh peradaban yang lebih maju. Konsep ini meluas ke kemungkinan simulasi bersarang – simulasi di dalam simulasi, dan seterusnya. Meskipun dulunya dianggap murni spekulatif, gagasan ini mendapatkan daya tarik seiring dengan meningkatnya daya komputasi dan kemungkinan menciptakan dunia virtual yang sangat realistis menjadi lebih nyata.

Dari Newton ke Gravitasi Kuantum: Pergeseran Pemahaman

Argumen para peneliti bergantung pada perubahan besar dalam cara kita memahami hakikat realitas. Fisika tradisional, yang dicontohkan oleh hukum Isaac Newton, menggambarkan alam semesta terdiri dari “benda” berwujud yang berinteraksi dalam ruang. Teori relativitas Einstein secara mendasar mengubah gambaran ini, diikuti oleh transformasi yang lebih radikal yang disediakan oleh mekanika kuantum. Saat ini, ilmu fisika terdepan menyatakan bahwa ruang dan waktu itu sendiri bukanlah sesuatu yang mendasar—mereka muncul dari sesuatu yang lebih mendasar: informasi murni.

Informasi ini berada dalam apa yang oleh para fisikawan disebut sebagai “alam Platonis” – sebuah struktur matematika dasar yang dianggap lebih nyata daripada alam semesta fisik yang kita alami. Ruang dan waktu, beserta segala sesuatu di dalamnya, muncul dari landasan matematika yang mendasarinya.

Batasan Komputasi: Teorema Gödel dan Ketidakpastian

Inti dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan bahwa landasan berbasis informasi ini pun tidak dapat sepenuhnya menggambarkan realitas hanya dengan menggunakan komputasi. Para peneliti memanfaatkan teorema matematika yang kuat, terutama teorema ketidaklengkapan Gödel, untuk membuktikan bahwa deskripsi yang benar-benar lengkap dan konsisten mengenai segala sesuatu memerlukan apa yang mereka sebut sebagai “pemahaman non-algoritmik”.

Anggap saja seperti ini: komputer, tidak peduli seberapa canggihnya, beroperasi dengan mengikuti instruksi yang telah ditentukan sebelumnya – algoritma. Namun kebenaran tertentu melampaui proses langkah demi langkah ini. Mereka memerlukan pemahaman intuitif dan non-algoritmik yang tidak berasal dari urutan logis apa pun.

Teorema Gödel menyoroti batasan ini. Perhatikan pernyataan: “Pernyataan ini tidak dapat dibuktikan.” Jika dapat dibuktikan, hal itu akan langsung menjadi salah, sehingga menimbulkan kontradiksi logis. Sebaliknya, jika hal tersebut tidak dapat dibuktikan, maka hal tersebut benar, namun hal ini membuat sistem apa pun yang mencoba membuktikannya pada dasarnya tidak lengkap. Bagaimanapun, perhitungan murni gagal.

Mengapa Alam Semesta Tidak Dapat Disimulasikan

Para peneliti menyimpulkan bahwa karena tingkat fundamental realitas berakar pada pemahaman non-algoritmik ini, alam semesta tidak bisa menjadi sebuah simulasi. Setiap simulasi, pada dasarnya, bersifat algoritmik, mengandalkan aturan yang diprogram. Karena fondasi realitas berada di luar proses algoritmik, maka simulasi menjadi mustahil.

Implikasi Lebih Dalam terhadap Teori Segalanya

Implikasi penelitian ini lebih dari sekadar menyangkal hipotesis simulasi. Menurut para peneliti, hal ini menunjukkan bahwa hukum dasar fisika tidak terkandung dalam ruang dan waktu – melainkan menghasilkan hukum tersebut. Harapan untuk menemukan teori tunggal yang dapat menghitung segalanya – teori yang dapat menggambarkan semua fenomena fisik melalui komputasi – pada dasarnya memiliki kelemahan. Deskripsi yang benar-benar lengkap memerlukan bentuk pemahaman yang lebih dalam, “pemahaman non-algoritmik”, yang melampaui batasan komputasi.

Sebagaimana dicatat oleh peneliti Origin Project Foundation, Dr. Lawrence M. Krauss, “Simulasi apa pun pada dasarnya bersifat algoritmik…tetapi karena tingkat dasar realitas didasarkan pada pemahaman non-algoritmik, Alam Semesta tidak mungkin, dan tidak akan pernah menjadi, sebuah simulasi.”

Temuan tim ini, yang diterbitkan dalam Journal of Holography Applications in Physics edisi Juni 2025, mewakili langkah signifikan dalam pemahaman kita tentang sifat realitas, yang menunjukkan bahwa alam semesta pada dasarnya berada di luar jangkauan model komputasi. Hal ini menantang pencarian “teori segalanya” yang murni algoritmik dan menunjuk pada pemahaman non-algoritmik yang lebih dalam sebagai kunci untuk mengungkap rahasia utama alam semesta.