Perubahan iklim bukan hanya tentang kenaikan suhu; hal ini mengancam untuk mendorong sistem bumi ke dalam perubahan yang tidak dapat diubah lagi yang dikenal sebagai “titik kritis”. Bayangkan domino yang berjatuhan—satu peristiwa yang dipicu akan memicu serangkaian peristiwa, mengganggu stabilitas seluruh ekosistem dan berpotensi menimbulkan konsekuensi bencana bagi umat manusia. Ini adalah peringatan mengerikan yang dikeluarkan para ilmuwan ketika mereka mengidentifikasi ambang batas yang semakin rapuh dalam sistem pendukung iklim dan kehidupan di planet kita.
Apa Sebenarnya Tipping Point Itu?
Bayangkan titik kritis sebagai garis merah planet. Hal ini mewakili ambang batas kritis dimana sistem alam berubah secara dramatis dan sering kali tidak dapat diubah. Melintasi garis-garis ini dapat memicu putaran umpan balik (feedback loops) yang mempercepat pemanasan, yang mengarah pada reaksi berantai yang mengakibatkan peristiwa-peristiwa yang tidak stabil.
Beberapa titik kritis penting yang dipantau oleh para ilmuwan meliputi:
- Lapisan Es Kutub yang Mencair: Lapisan es raksasa di Greenland dan Antartika menampung sejumlah besar air beku. Pencairan yang semakin cepat akibat pemanasan air meningkatkan permukaan laut global, sehingga mengancam komunitas pesisir di seluruh dunia.
-
Pencairan Permafrost: Tanah beku yang disebut permafrost mengandung simpanan karbon yang sangat besar. Ketika suhu meningkat, lapisan es ini mencair, melepaskan metana, gas rumah kaca yang kuat, sehingga semakin mempercepat pemanasan dan menciptakan siklus berbahaya.
-
Amazon Rainforest Dieback: Hutan hujan yang luas ini bertindak sebagai penyerap karbon yang penting, menyerap CO2 dari atmosfer. Namun, penggundulan hutan dan kekeringan yang dipicu oleh perubahan iklim mendorongnya menuju titik kritis di mana hutan subur akan digantikan oleh sabana kering, sehingga melepaskan simpanan karbon ke udara dan mengurangi kemampuannya untuk menyerap emisi di masa depan.
Efek Domino: Bagaimana Satu Titik Kritis Mengarah ke Titik Kritis Lainnya
Salah satu ketakutan utama adalah bahwa memicu satu titik kritis akan memicu efek domino pada titik kritis lainnya. Misalnya, mencairnya lapisan es mengganggu arus laut seperti Atlantic Meridional Overturning Circulation (AMOC), yang mengatur pola cuaca global. Melemahnya atau runtuhnya AMOC dapat mengubah pola cuaca secara dramatis dan berdampak signifikan terhadap iklim regional di belahan bumi utara.
Putaran Umpan Balik: Mempercepat Krisis
Pemanasan global disebabkan oleh aktivitas manusia yang melepaskan gas rumah kaca, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil. Gas-gas ini memerangkap panas di atmosfer, menyebabkan suhu meningkat. Namun pemanasan ini dapat menimbulkan putaran umpan balik yang kuat sehingga memperburuk masalah. Misalnya, ketika lautan memanas, lautan menyerap lebih sedikit CO2 dari atmosfer, sehingga semakin memperkuat efek rumah kaca. Demikian pula, pencairan lapisan es akan melepaskan metana, gas lain yang memerangkap panas, sehingga mempercepat pemanasan global dan semakin mencairkan lapisan es dalam lingkaran setan.
Urgensi untuk Bertindak: Bisakah Kita Menghindari Bencana?
Sementara para ilmuwan berupaya untuk lebih memahami ambang batas titik kritis dan potensi konsekuensinya, pesan yang disampaikan jelas: diperlukan tindakan segera untuk mengekang emisi gas rumah kaca. Perjanjian Paris, yang ditandatangani oleh para pemimpin dunia pada tahun 2015, bertujuan untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat Celcius dibandingkan tingkat pra-industri, bahkan idealnya hingga 1,5 derajat. Namun upaya yang dilakukan saat ini masih belum mencapai target tersebut. PBB baru-baru ini memperingatkan bahwa kita tidak berada pada jalur yang tepat untuk memenuhi target 2 derajat yang lebih lunak, sehingga risiko melewati titik kritis dan memicu bencana iklim semakin nyata.
Menghindari konsekuensi bencana memerlukan peralihan global menuju sumber energi ramah lingkungan, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, praktik pengelolaan lahan berkelanjutan, dan upaya skala besar untuk melindungi dan memulihkan penyerap karbon alami seperti hutan. Peluang ini akan segera tertutup, namun tindakan segera tetap menjadi satu-satunya harapan kita untuk mencegah kerusakan permanen pada keseimbangan iklim bumi yang rapuh ini.








































